Friday 8 June 2012

Seribu tak keluar, Gopek pun Berat




Siapa yang tidak merasa iba melihat seorang kakek buta dan lusuh yang berjalan dengan tangan menumpang di bahu anaknya yang masih kecil di bawah teriknya matahari? Atau jatuh hati dan tak tega rasanya melihat seorang ibu yang tengah menggendong seorang bayi yang terus menjerit-jerit mungkin karena lapar atau perutnya sakit karena terus diterpa angin? Sekeping uang logam 500 pasti langsung meluncur dari kantong celana atau saku baju. Eits, namun bagi sejumlah orang, uang logam 500 itu belum tentu dengan gampangnya keluar. Kenapa ya? Uang itu memang betul-betul berat? Ataukah ada berjuta alasan yang memberatkan?

Masalah pengemis adalah masalah yang sangat pelik dan tak akan ada habisnya serta solusinyapun tak akan pernah bisa ditemukan. Lantas, apakah kita harus berpangku tangan dan membiarkannya tak terpecahkan? Pertama, mari kita coba tinjau apa alasan mereka menjadi seorang pengemis. Sudah pasti karena kecacatan yang disandang, membuat mereka tidak dapat menjalani pekerjaan layaknya orang normal, dan juga tidak ada sanak keluarga yang menanggung biaya hidupnya. Menjadi pengemis adalah solusi bagi mereka.

Itu alasan yang pertama. Alasan kedua adalah tidak mampu membayar uang sekolah yang semakin hari semakin melejit saja. Ujung-ujungnya, para anak tak berdosa itu disuruh mengemis saja.Nah, alasan ketiga ini, adalah alasan yang kebanyakan para pengemis gunakan yaitu terpaksa. Terpaksa karena keadaan? Ataukah ada pihak-pihak tidak betanggung jawab yang memaksa mereka dengan cara mengkoordinir dalam satu komunitas pengemis dimana mereka diharuskan menyetor sejumlah uang penghasilan pada hari tersebut.
Dan masih banyak lagi alasan. Tapi satu alasan yang sebenarnya merupakan akar dari semua permasalahan ngemis-mengemis ini, yaitu kemiskinan! Miskin materi, pendidikan, dan juga usaha. Terbatasnya pendidikan membuat mereka terbatas pula dalam mencari mata pencaharian. Wong, sekolah aja nggak, gimana mau kerja? Miskin usaha? Hal ini tidak jauh dari soal pendidikan. Terbatasnya pendidikan, berarti terbatasnya kemampuan mereka untuk mengasah akal sehat bahwa mencari uang tak harus berujung dengan menengadahkan tangan pada orang lain.

Tetapi sebenarnya selain faktor-faktor di atas, kitapun menjadi “pendukung” keputusan mereka untuk mengemis tanpa kita sadari. Beberapa diantara kita, pastilah ada yang tergerak hatinya untuk memberikan uang receh begitu melihat mereka kehujanan, belum lagi harus menggendong bayi yang terus menangis, sementara kita asyik mendengar alunan musik di dalam mobil. Nah, tindakan kita yang “tergerak” itulah yang memicu mereka untuk tetap mengemis. Kok bisa? Ya, sekali menengadahkan tangan, ditolak satu tangan, masih ada tangan yang lain kok yang mau menyodorkan si gopek itu. Jadi, mereka betah-betah saja mengemis.

Anda pasti bingung kan, harus bagaimana menghadapi orang-orang tersebut yang setiap hari “bergentayangan” di jalanan? Kisah seorang pengemis ini mungkin dapat Anda jadikan bahan pertimbangan.

Adalah seorang pengemis asal Madura yang tak mau disebutkan nama aslinya. Selama berpuluh-puluh tahun ia menjadi seorang pengemis. Namun kini ia sudah “pensiun”. Apa alasannya? Penghasilan sekitar Rp 6-9 juta perbulan sudah dapat ia kantongi dari 54 anak buah (pengemis) yang ia kelola. Bukan hanya itu, sebuah Honda CRV kinclong keluaran 2004, dua buah sepeda motor Honda Supra Fit, dan bahkan sebuah rumah di kawasan Surabaya Barat yang dibangun di atas lahan seluas 400 meter persegi.

Si pengemis sukses yang bernama samaran Cak To itu, tumbuh di keluarga pengemis juga. Awalnya ia diajak mengemis oleh ibunya. Bakat menjadi “bos” pengemis terlihat ketika hasil ia dan ibunya mengemis dirampas oleh preman. Cak To maju melawan para preman itu demi mempertahankan uangnya. Pengalaman pahit tak cukup disitu. Razia oleh petugas Satpol PP membuatnya terus meningkatkan “ilmu” dalam cara berbicara ketika menghadapi mereka, sehingga membuat Cak To “senior” dalam hal per-mengemis-an.


Setelah menjadi bos, ia sering merekrut penduduk sekitar yang sedang gagal panen, lalu dididik untuk menjadi pengemis yang baik. Selain itu, penghasilannya perbulan yang tidak main-main itu, sebagian ia amalkan ke masjid dan musholla setempat. Ia adalah donatur tetap.

Contoh kisah di atas bukanlah saya maksudkan untuk dijadikan referensi profesi (yang benar saja), dan juga bukan untuk mendiskreditkan pengemis. Kita tidak akan pernah bisa membedakan mana pengemis yang betul-betul miskin papa, mana yang hanya pura-pura karena malas bekerja. Namun, pada dasarnya menjadi pengemis tidak dapat menjadi keputusan seseorang untuk menghidupi keluarga. Masih banyak profesi lain yang tidak harus menengadahkan tangan pada orang lain, mengharapkan belas kasihan dan sekeping uang logam.


Bila Anda memang bermaksud untuk beramal, berbagi rejeki yang berlebih pada yang kurang mampu, Anda bisa salurkan lewat lembaga-lembaga yang sudah jelas seperti Badan Amal dan Zakat, panti asuhan, atau program-program orang tua asuh untuk membantu biaya pendidikan anak-anak terlantar dan tidak mampu. Atau, kalau Anda ingin uang yang disumbangkan sampai langsung ke tangan mereka yang tidak mampu, Anda bisa “tengok” kanan-kiri di sekitar kawasan tempat tinggal, dan carilah tetangga yang betul-betul hidup di bawah garis kemiskinan.

Beramal tidak perlu susah-susah sampai Anda harus menyelenggarakan konser amal misalnya. Beramal dapat mulai dilakukan dari orang yang terdekat terlebih dulu. Bantulah sesuai isi kocek Anda. Intinya meringankan beban, bukan membantu sepenuhnya. Karena membantu sepenuhnya sama saja tidak ada artinya. Mereka yang dibantu nanti malah enak-enakan tidak ada usaha untuk meningkatkan taraf hidupnya. Kalau sudah begitu, apa bedanya dengan memberi gopek-an pada pengemis tadi?

Semua memang kembali pada diri kita masing-masing. Selamat merenung, semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

No comments: