Umumnya orang beranggapan bahwa pemikiran manusia berasal dari otak. Berpikirnya otak menimbulkan berbagai macam pikiran, kesadaran atau perasaan.
Pada 1978, Peraih hadiah Nobel bidang kedokteran Sir Eccles mengemukakan suatu teori penelitian ilmiah bahwa: manusia memiliki sebuah “kesadaran diri” yang independen di luar otak, dan otak hanyalah alat berwujud materi dari “kesadaran diri”. Ia menyimpulkan, “diri” yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia ini tetap dapat hidup meskipun otak berwujud materi ini telah mati.
Berbeda dengan pemikiran masyarakat modern bahwa “manusia berpikir dengan otak besar”, masyarakat Tiongkok kuno justru berpandangan bahwa pemikiran manusia timbul dari “hati”, dan dalam ilmu pengobatan tradisional Tiongkok juga sering disebutkan istilah “hati menguasai jiwa”.
Kata ‘hati’ dalam hal ini berbeda dengan Jantung (atau lever) seperti yang disebut dalam ilmu kedokteran barat. Sementara istilah “kesadaran diri” yang disebut Sir Eccles justru memiliki kemiripan dengan “jiwa atau roh” seperti yang disebutkan dalam agama maupun legenda. Jika demikian, maka pemahaman kuno akan “jiwa atau roh” sudah bukan lagi dikatakan takhayul.
Kepala manusia yang terpisah selama satu minggu dari tubuh manusia masih dapat berfungsi baik, manusia yang tidak memiliki otak besar tetap dapat hidup normal, penjelasan apakah yang dapat disampaikan melalui fenomena seperti ini?
Mungkin fenomena alam kesadaran manusia sama sekali tidak ada hubungan yang mutlak dengan tubuh fisiknya, kesadaran merupakan suatu wujud bebas yang hidup secara independen terlepas dari eksistensi tubuh fisik manusia, persis seperti yang disebut jiwa atau roh oleh masyarakat kuno.
Setiap manusia memikul sebuah otak di atas bahu, seandainya ada orang yang menanyakan, “Apakah kita mutlak membutuhkan otak besar?” Sudah pasti banyak orang akan menertawakannya. Namun ternyata majalah iptek terkenal Science sejak edisi Desember 1980 lalu, menerbitkan sebuah artikel yang ditulis Roger Lewin dengan memaparkan hasil penelitian John Robert (1915~1996), seorang dosen ilmu saraf (Neurologi) University of Sheffield, Inggris, tentang masalah ini.
Saat seorang dokter kampus di University of Sheffield mendiagnosa suatu penyakit ringan pada seorang mahasiswa Fakultas Matematika, secara tidak sengaja ia mendapati ukuran kepalanya sedikit lebih besar daripada ukuran manusia normal.
Dokter ini kemudian merekomendasikan mahasiswa tersebut ke Profesor Robert untuk diperiksa lebih lanjut. Mahasiswa ini memiliki prestasi gemilang, IQ-nya mencapai 126. Pada saat Profesor Robert melakukan CAT Scan pada otak mahasiswa ini, ia sangat terkejut karena mendapati bahwa mahasiswa tersebut ternyata sama sekali tidak memiliki otak besar! Karena data pasien sangat dirahasiakan dalam kedokteran Barat, maka artikel pun tidak bisa mempublikasikan nama dari mahasiswa tersebut.
Otak besar mutlak harus ada?
Di dalam rongga tengkorak manusia normal terdapat dua bongkahan bulat mirip ‘tahu berwarna putih’ yang memenuhi rongga tengkorak. Bongkahan terbentuk dari subtansi abu-abu dan alba, dan memiliki banyak sekali sulkus (alur yang menandai konvolusi pada permukaan otak) pada lapisan kulit otak besar (atau disebut sumsum otak). Umumnya lapisan kulit otak memiliki ketebalan 4,5 cm dan terhubung dengan sumsum tulang belakang.
Namun mahasiswa ini hanya memiliki susunan otak tidak lebih dari 1 mm yang menutupi ujung tulang belakangnya, dan di dalam tengkorak kepalanya dipenuhi cairan (Hidrosefalus). Penderita Hidrosefalus kebanyakan sulit bertahan hidup, kalau pun tetap hidup biasanya akan menderita cacat berat, namun mahasiswa tersebut justru dapat hidup dengan normal.
Menurut Profesor Robert, meski kasus ini sangat istimewa namun lumayan banyak dijumpai. Karena dirinya pribadi telah memastikan bahwa terdapat ratusan kasus “manusia tidak berotak” yang memiliki otak berukuran sangat kecil, sementara IQ, kehidupan, dan kemampuan belajar orang-orang tersebut sama sekali tidak berbeda dengan manusia biasa, ia menyebut orang-orang tersebut memiliki “otak besar yang tidak terlihat”.
Seiring dengan semakin majunya ilmu kedokteran di bidang bedah otak, semakin banyak pula orang yang bertahan hidup walaupun setengah dari otak besarnya diambil. Zheng Xiaohan, seorang bocah laki-laki (8 tahun) penderita epilepsi dari Provinsi Henan berhasil menjalani operasi pengambilan otak kiri pada November 2010.
Kini keadaannya sudah jauh membaik dan kemampuan belajarnya semakin meningkat. Untuk mencegah otak kanan bergeser, dokter menginjeksi air garam steril ke bagian otak kirinya dan memisahkan otak kiri dan kanannya dengan sekat. Ilmu kedokteran menunjukkan bahwa lebih dari 90% pengidap epilepsi dapat hidup dengan normal setelah menjalani bedah otak.
Otak besar: misteri belum terpecahkan
Albert Einstein diakui sebagai manusia paling jenius di dunia. Sebelum meninggal dunia pada 18 April 1955, dalam surat wasiatnya Einstein meminta agar segera dikremasi tanpa dilakukan otopsi, namun seorang dokter Pathology, Thomas Harvey, dari rumah sakit afiliasi University of Princeton, diam-diam mengambil otak besarnya dan membuat 240 potong irisan.
Karena kemampuan teknologi saat itu, tidak dapat ditemukan perbedaan antara otak seorang jenius dengan manusia biasa. Kemudian mikroskop elektronik dapat melihat bahwa otak besar Einstein memiliki sel colloid saraf yang jauh lebih banyak daripada manusia normal. Baru-baru ini muncul lagi teknologi komputer 3 Dimensi, yang mendapati bahwa bagian Parietal dari otaknya 15% lebih besar dari manusia biasa, dan Parietal ini berfungsi mengendalikan kemampuan matematika dan logika.
Meski manusia berhasil menjejakkan kakinya di planet lain, namun otak besar tetap menjadi misteri yang sulit dipecahkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam ilmu neurologi masih terdapat 5 misteri yang belum terpecahkan, yaitu kesadaran, pikiran, memori, pembelajaran, dan mimpi.
Peraih hadiah Nobel bidang kedokteran tahun 2000, Eric Kandel menjelaskan, “Tantangan paling mendasar dalam ilmu neurologi adalah bagaimana menggunakan dasar ilmu biologi untuk memahami proses dari kesadaran, perasaan, kelakuan, pembelajaran, dan memori kita.”
Dahulu manusia percaya bahwa sama halnya dengan komputer yang membutuhkan chip untuk menyimpan data, otak manusia juga membutuhkan materi tertentu sebagai bahan untuk menyimpan memori. Namun iptek terbaru menemukan bahwa ternyata memori sama sekali bukan disimpan pada materi tertentu dalam otak besar. “Memori eksis di bagian mana saja dari otak besar, tapi sekaligus juga tidak eksis di bagian mana saja dari otak”, hal inilah yang semakin membingungkan bagi kita.
Otak manusia tak jauh berbeda dengan otak hewan
Mengapa manusia lebih cerdas daripada hewan? Orang cenderung membandingkan rasio volume otak dengan berat tubuh, antara manusia dengan hewan. Rasio pada manusia adalah 1:38, paus 1:2500, gajah 1:500, gorilla 1:100, burung gereja 1:34, simpanse 1:28, tikus putih 1:26. Sama sekali tak terlihat di mana letak keistimewaan manusia.
Lalu ada lagi orang yang mengukur tingkat kepadatan otak besar, dan menemukan bahwa dalam setiap 0.0001 mm kubik irisan otak besar, tingkat kepadatan otak besar manusia adalah 10,5 ; paus 6,8 ; kucing 30,8 ; tikus 105 ; jadi semakin kecil hewan semakin besar tingkat kepadatan otaknya.
Ada yang mengatakan bahwa sulkus otak besar manusia banyak sehingga lebih cerdas. Jika lapisan luar otak kiri dan kanan dibeberkan maka luasnya akan mencapai 2.250 cm persegi (setara dengan selembar kertas koran 4 halaman yang dibentangkan) sementara otak tikus dan kelinci memiliki lapisan luar yang lebih rata.Namun ilmuwan juga menemukan bahwa lumba-lumba memiliki sulkus yang jauh lebih banyak daripada manusia. Sepertinya perbedaan otak manusia dengan hewan tidak terletak pada parameter lapisan luar otak besar.
No comments:
Post a Comment